A. Periode Pra Kemerdekaan Sampai Dengan Tahun 1945
Pada awal abad XIX, kota Batavia (Jakarta) mengalami perkembangan dan perubahan yang pesat terutama di bidang Pemerintahan Kota, Gubernur Jenderal Daendels yang diangkat pada tahun 1807, berkeinginan menjadikan Batavia menjadi Ibukota yang dapat dibanggakan, beberapa pembangunan kota dilakukannya yaitu antara lain Lapangan Parade Water looplein (Lapangan Banteng) dan Lapangan Latihan Koninsplein (Lapangan Gambir/Monas), Gedung Kesenian, Gereja Kathedral (dibangun Daendels Tahun 1829 kemudian runtuh pada tahun 1890 dan dibangun kembali Tahun 1898 sampai keadaannya yang sekarang ini). Gereja Immanuel dan Gedung Mahkamah Agung adalah beberapa karya dari Gubernur Jenderal Daendels.
Pembangunan Kota yang dilakukan Daendels, tidak lepas kaitannya dengan upayanya mereorganisasi Pemerintah Kota dan salah satu kegiatannya dalam membangun Pemerintah Kota termasuk penyelenggaraan pencatatan sipil yang pada waktu itu disebut Burgerlijk Stand (BS).
Jika kita bertanya kapan sebenarnya kegiatan pencatatan sipil itu diadakan oleh Pemerintah Kolonial belanda, ini hal yang menarik. Dokumen akta catatan sipil tertua yang saat ini tersimpan pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta bertahun 1829. Dengan data ini benarkah penyelenggaraan pencatatan sipil itu di Batavia (Jakarta) baru ada tahun 1829? dan apakah Batavia adalah wilayah/daerah pertama yang memulai kegiatan pencatatan sipil khususnya bagi warga negara Belanda?
Berdasarkan dokumen pencatatan sipil (Bergelijke Stand) yang tersimpan pada Arsip Nasional , terdapat beberapa dokumen yakni : Doopboek, Kerk (Gereja), Geboorte (Kelahiran), Trouwbrieven (surat nikah/kawin), Naturalisatie (naturalisasi) yang tercatat bertahun 1623 sampai dengan tahun 1866. Adapun daerah atau kota asal dokumen tersebut adalah : Batavia, Java, Semarang, Pasoeroean, Soerabaya, Makasar, Ternate, Ambonia, Mester Cornelis, Benkoelen, Banjarmasin, Celebes, Gorontalo, Menado, Timor.
Memperhatikan daerah/kota yang memiliki dokumen pencatatan sipil di atas, Batavia yang pada waktu itu meliputi daerah yang lebih luas dari Jakarta sekarang, yakni meliputi daerah yang sekarang masuk dalam wilayah Banten sampai ke wilayah Cirebon (daerah pesisir utara), termasuk daerah/kota yang awal diadakan.
Disamping dokumen BS juga terdapat dokumen 223Wees-en Boedelkamers224 yakni dokumen tentang waris dan hak waris. Lembaganya adalah 223Wees Bkamer224 atau Balai Harta Peninggalan. Lembaga ini berfungsi mengurus tentang waris dan ahli waris yang berkaitan dengan hak negara. Dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional ini tercatat mulai tahun 1851 dan terus berlangsung sampai dengan tahun 1953. Adapun daerah/kota asal dokumen ini adalah : Batam, Kerawang, Priangan, Cirebon, Majalengka, Semarang, malang, lampung, Palembang, Bengkulu, Bangka, Belitung, riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan.
Dokumen 223Wees-en Boedelkamers224 meliputi : acta boedelbeschchrijving Acquit in de charge, Ofrichting van naamlooze, Register testamen, register huwelijken en stergevallen, dan register nalateenschappen
Penyelenggaraan BS pada waktu itu didasarkan kepada peraturan perundang-undangan Negeri Belanda (asas konkordansi) dan hanya berlaku bagi Warga Negara Belanda, Eropa dan Amerika.
Dokumen-dokumen pada Arsip Nasional di atas, menegaskan bahwa penyelenggaraan pencatatan sipil di Hindia Belanda, telah dilaksanakan sejak tahun 1623. Namun pertanyaannya siapa atau lembaga apa yang melaksanakan tugas pencatatan sipil tersebut.
Penyelenggaraan Catatan Sipil di Negeri Belanda sendiri mulai dilaksanakan oleh pemerintahan Kotapraja pada akhir abad ke 18 melalui Undang Undang Kotapraja tahun 1792, Pendeta/gereja dilarang melakukan pendaftaran tersebut. Undang-undang ini bersumber dari Perancis yang pada masa itu menguasai Belanda. Di Perancis penyelenggaraan catatan sipil diatur oleh Undang-undang tanggal 20 September 1772 yang menegaskan Pemerintahan Kotapraja ditugaskan mengadakan daftar-daftar untuk mencatat kelahiran, perkawinan dan kematian Warga Kotapraja itu, sedangkan badan-badan atau orang-orang lain dilarang melakukan pelayanan itu. Sebelumnya di negara-negara Eropa daftar semacam itu sudah ada dan dilaksanakan oleh Pendeta/Gereja.
Dengan demikian diperkirakan bahwa penyelenggaraan pendaftaran kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian telah dilaksanakan oleh para pendeta/Gereja di Hindia Belanda sejalan dengan yang berlaku di Belanda pada kurun waktu itu dan terus berlangsung sampai dengan akhir abad ke 18 dan melalui Undang Undang Kotapraja tahun 1792 Pendeta/gereja dilarang melakukan pendaftaran tersebut.
Demikian juga penyelenggaraan pencatatan sipil di Batavia, jika pelarangan terhadap para Pendeta/gereja juga diterapkan pada tahun 1792 (asas Konkordansi), maka diperkirakan dokumen yang tersimpan pada Kantor Catatan Sipil yakni tertua tahun 1829 terdapat register akta catatan sipil (BS) antara tahun 1623 sampai dengan tahun 1792 (periode gereja) dan dokumen mulai tahun 1792 sampai dengan tahun 1828 (periode kotapraja). saat ini tersimpan pada Arsip Nasional.
Bahwa gereja/pendeta melaksanakan pencatatan sipil di Batavia, dapat diketahui melalui monumen/pahatan nama-nama pendeta yang melaksanakan tugas catatan sipil berada di dinding gedung Gereja Immanuel (Jl. Pejambon/Medan merdeka Timur).
Besarnya tuntutan pelayanan BS dari warga Belanda dan Eropa yang tinggal diwilayah Hindia Belanda mendorong keinginan adanya perundang-undangan Catatan Sipil yang berlaku khusus di seluruh wilayah Pemerintahan Hindia Belanda.
Ordonansi pencatatan sipil yang pertama dibuat untuk daerah Hindia Belanda, diberlakukan pada tahun 1850, dengan ditetapkannya ordonantie Catatan Sipil bagi Golongan Eropa di Hindia Belanda, yaitu Reglement tentang hal daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Eropa dan juga Indonesia Asli (Bumi Putera) dan mereka yang dipersamakan dengan bangsa itu (Eropa) yaitu mereka yang menundukkan diri menurut ketentuan perundang-undangan kepada seluruhnya dengan sukarela kepada hukum sipil (perdata) dan hukum dagang yang diterapkan bagi Bangsa Eropa (Staatsblad Tahun 1849 Nomor 25).
Terbatasnya pelayanan Catatan Sipil tersebut adalah sejalan dengan politik Pemerintah Hindia Belanda yang membagi dan menggolongkan penduduk dan kemudian bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum yang berbeda. Didasari ketentuan Pasal 131 dan 163 IS (Indische Staatsregeling) ada 3 golongan penduduk yaitu Golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi :
(1) Apabila peraturan-peraturan dari undang-undang ini dari peraturan-peraturan umum dan peraturan-peraturan lain, reglement-reglement, peraturan-peraturan polisi dan peraturan-peraturan administrasi membedakan antar Golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing, untuk mereka berlaku peraturan-peraturan yang berikut.
(2) Pada peraturan-peraturan Golongan Eropa tunduk :
1. Semua orang Belanda.
2. Semua orang, tak termasuk dalam golongan nomor 1 yang berasal dari Eropa.
3. Semua orang Jepang dan selanjutnya semua orang yang berasal dari lain tempat, tak termasuk golongan nomor 1 dan 2, untuk siapa di negerinya berlaku hukum keluarga yang dalam pokoknya berdasar pada azas-azas yang sama dengan azas-azas Belanda.
4. Anak-anak yang sah atau yang diakui secara sah menurut undang-undang yang dilahirkan di Indonesia dan turunan-turunan lanjut dari orang-orang yang dimaksudkan dibawah nomor 2 dan 3.
(3) Pada peraturan-peraturan untuk Golongan Indonesia tunduk kecuali kedudukan hukum dari Golongan Indonesia Nasrani yang ditetapkan dengan ordonansi semua orang yang termasuk dalam Golongan Indoesia Asli di Indonesia dan tidak telah masuk dalam Golongan Penduduk lain dari Golongan Indonesia Asli dan sekarang telah mempersatukan diri dengan Golongan Indonesia Asli.
(4) Pada peraturan-peraturan untuk Golongan Timur Asing tunduk kecuali mereka yang beragama Nasrani yang akan ditetapkan dengan ordonansi, semua orang yang tak termasuk golongan yang dimaksudkan oleh ayat 2 atau 3 dari pasal ini.
(5) Gubernur Jenderal berhak selaras dengan Read van Indonesie untuk menyatakan peraturan- peraturan yang berlaku bagi Golongan Eropa juga berlaku bagi orang, untuk siapa sebetulnya peraturan-peraturan itu tidak berlaku, untuk siapa sebetulnya. Pernyataan berlaku tersebut berlaku dengan sendirinya untuk anak-anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan yang dilahirkan setelah itu serta turunan-turunan lanjutan dari yang bersangkutan.
Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam Pasal 131 IS yang pada pokoknya sebagai berikut:
(1) Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab undang-undang, yaitu di kodifikasikan
(2) Untuk Golongan Bangsa Eropa untuk itu harus dianut perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).
(3) Untuk Golongan Bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing, jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan, mereka menghendaki nya, dapatlah peraturan-peraturan untuk Bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan mana boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat mereka (ayat 2).
(4) Orang Indonesia dan Orang Timur Asing sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan Bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwer pen) pada hukum yang berlaku untuk Bangsa Eropa, penundukan diri mana boleh dilakukan baik secara umum maupun secara khusus hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat7)
(5) Sebelumnya hukum untuk Bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, maka bagi merka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka yaitu hukum adat (ayat 6).
Hal penundukkan diri diperjelas dengan adanya dari Staatsblad 1917 No.12 mengenai kemungkinan menudukkan diri pada hukum Eropa, dalam hal ini ada 4 macam penundukkan diri yaitu :
(1) Penundukkan pada seluruh hukum perdata Eropa.
(2) Penundukkan diri pada sebagian hukum perdata Eropa.
(3) Penundukkan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu.
(4) Penundukkan secara diam-diam yaitu menurut Pasal 29 yang berbunyi "jika seorang Bangsa Indonesia Asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal dalam hukumnya sendiri, maka ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa".
Reglement tersebut dipublikasikan pada tanggal 10 Mei 1849 dalam Staatsblad tahun 1849 No.259 .
Pada akhir abad ke-19 perkembangan dunia khususnya Eropa mengalami perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang politik, pengaruh paham liberal telah mendorong pemerinthan Hindia Belanda untuk lebih demokratis dan longgar khususnya di negara-negara jajahan. Di Negeri Belanda sendiri paham tersebut berkembang dan dikenal sebagai pemikiran-pemikiran âPolitik Etisâ. Perkembangan politik dalam negeri Belanda tersebut mendorong dihapusnya culturstelsel dan semakin diperluasnya kesempatan kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk berkembang. Hal ini membawa pengaruh pula pada kegiatan pencatatan sipil, jika tadinya pencatatan sipil itu hanya berlaku bagi Bangsa Eropa, maka perkembangan selanjutnya mendorong diberinya kesempatan pelayanan Catatan Sipil bagi golongan-golongan lain.
Maka pada awal abad ke-20, dikeluarkan ordonansi tanggal 29 Mei 1917 No.130 (Staatsblad tahun 1917 No.130) yang akan diberlakukan tanggal 1 Mei 1919 dengan Staatsblad 1919 No.81, reglement tentang daftar-daftar pencatatan sipil bagi Bangsa Tiong Hoa.
Selanjutnya kepada Golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) Catatan Sipil diberlakukan pula, namun masih dibatasi kepada mereka yang tidak termasuk rakyat dari sesuatu swapraja di Jawa dan Madura. berdasarkan Ordonantie tanggal 15 Oktober 1920 (Staatsblad tahun 1920 No.751), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1928. Kemudian bagi Golongan Bumi Putera beragama Kristen di Pulau Jawa, Madura dan Minahasa serta sebagian Keresidenan Ambon, (Saparua dan Banda.) yang tertuang dalam staatsblad tahun 1933 no. 75 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1937.
Dalam hubungannya dengan penggolongan penduduk seperti yang dikemukakan di atas, untuk pelaksanaan catatan sipil ditetapkan reglement-reglement sebagai berikut :
(1) Reglement Catatan Sipil untuk Golongan Eropa dan bagi mereka yang menurut hukum nya dipersamakan dengan hukum yang berlaku bagi Golongan Eropa, yang diundangkan tanggal 10 Mei 1849 (Stbld.1849 No.25), dengan judul selengkapnya âReglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka, yang berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang telah tunduk untuk seluruhnya atau telah tunduk secara sukarela pada hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku untuk orang-orang Eropa.
(2) Reglement mengenai penyelenggaraan daftar- daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Tiong Hoa (Ordonansi tanggal 29 Maret 1917 ; Stbld. 1917 No.130 Jo. 1919 No.81) dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919 untuk seluruh Wilayah Indonesia).
(3) Reglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar Catatan Sipil untuk be berapa golongan penduduk Indonesia di Jawa dan Madura, yang tidak termaduk rakyat swapraja (Ordonansi tanggal 15 Oktober 1920; Stbld.1920 No.751 Jo. Stbld.1927 No.564 dan setelah dirubah pada tahun 1926 dan 1927) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1928.
(4) Reglement Catatan Sipil orang-orang Indonesia Nasrani (Ordonansi tanggal 15 Pebruari 1933 ; Stbld.1933 No.75 Jo.Stbld.1936 No.607). Nama lengkap Reglement tersebut adalah âReglement mengenai penyelenggaraan daftar-daftar Catatan Sipil untuk orang-orang Indonesia Nasrani Manado, yang dikenal dibawah Minahasa dan Pulau-pulau Teun,Nila dan Serua dari Residensi Malukuâ. Menurut Stbld.1936 No.607 Reglement ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1937.
Burgerlijke Stand pada waktu itu, berada satu atap dengan Pengadilan Negeri dan Raad van Justisi (sekarang Kejaksaan).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, ditetapkanlah daftar-daftar akta catatan sipil yang berbeda untuk masing-masing golongan, sebagai berikut :
a. Untuk Golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Eropa, disediakan 5 macam daftar akta catatan sipil :
1) Daftar kelahiran;
2) Daftar Pemberitahuan Perkawinan
3) Daftar Izin perkawinan
4) Daftar Perkawinan dan Perceraian;
5) Daftar kematian
b. Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing, disediakan 4 macam daftar akta catatan sipil :
1) Daftar-daftar kelahiran;
2) Daftar izin untuk Nikah
3) Daftar Izin perkawinan
4) Daftar-daftar Perkawinan dan Perceraian;
5) Daftar-daftar kematian
Pada perkembangannya, daftar-daftar Kelahiran dibagi kembali dalam 4 daftar, yaitu :
(1) Daftar Umum, yaitu daftar untuk memuat segala kelahiran yang diberitahukan kepada Pegawai Catatan Sipil, dengan tak ada suatu pengakuan anak;
(2) Daftar Tambahan, yaitu daftar untuk memuat segala akta yang dikirim oleh orang-orang perantara catatan sipil tentang kelahiran-kelahiran yang diberitahukan kepada mereka;
(3) Daftar Tambahan untuk memuat segala pengakuan, kecuali pengakuan yang dilakukan pada waktu dilakukan perkawinan;
(4) Daftar Tambahan untuk memuat segala akta-akta lain yang menurut undang-undang harus dibukukan dalam daftar kelahiran.
Sedangkan untuk daftar Kematian dibagi lagi dalam 3 (tiga) daftar, yaitu :
(1) Daftar Umum, yaitu memuat segala kematian yang diberitahukan kepada pegawai catatan sipil;
(2) Daftar Tambahan, untuk memuat segala akta-akta yang dikirim oleh orang-orang perantara catatan sipil tentang kematian-kematian yang diberitahukan kepada mereka;
(3) Daftar Tambahan untuk memuat segala akta-akta lain yang menurut undang-undang harus didaftar dalam daftar kematian.
c. Untuk Golongan Indonesia Asli yang tinggal di Pulau Jawa dan madura, disediakan 3 (tiga) macam daftar akta catatan sipil :
(1) Daftar kelahiran;
(2) Daftar Pemilihan Nama
(3) Daftar kematian;
Daftar-daftar untuk golongan Indonesia asli inipun dibatasi hanya terhadap mereka yang memenuhi ketentuan :
(1) Mereka yang berhak memakai salah satu gelar kebangsawanan Indonesia, kecuali mereka yang hanya memakai gelar âmasâ
(2) Pegawai negeri yang bergaji 100 Gulden (minimal)
(3) Opsir-opsir tentara dan Pensiunannya (minimal berpangkat Kolonel)
(4) Semua orang yang menurut firman raja tanggal 15 September 1916 Nomor 26 (stbl. 1917 nomor 12) telah berlaku atau menundukkan diri pada sebagian hukum privat golongan Eropa;
Pembatasan pelayanan catatan sipil terhadap penduduk orang Indonesia asli ini, menggambarkan watak kolonialisme Belanda yang angkuh dan kolot yang tidak mau mengakui hak-hak sipil sebagian besar bangsa Indonesia.
d. Untuk Golongan Indonesia Asli Nasrani yang tinggal di Pulau Jawa dan madura, Minahasa dan sebagian keresidenan Ambon, disediakan 5 macam daftar akta catatan sipil :
1) Daftar kelahiran;
2) Daftar Pemilihan Nama
3) Daftar Perkawinan
4) Daftar Perceraian
5) Daftar kematian;
Berbeda sekali perlakuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk orang Indonesia asli yang beragama Nasrani, bagi mereka semua yang tinggal di Pulau Jawa, Madura, Minahasa dan sebagian keresidenan Ambon dapat dilayani oleh Kantor Catatan Sipil ( BS) pada waktu itu, tanpa memandang gelar kebangsawanan, atau status pekerjaan dan pangkat kedudukannya baik dalam organisasi Pemerintahan Kotapraja maupun pada Dinas Militer. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh kristenisasi terhadap kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda.
Pecahnya PD II pada tahun 1942 merubah peta kekuasaan Sekutu (belanda didalamnya) terhadap wilayah jajahannya di Asia, Indonesia terpaksa ditinggalkan oleh Belanda karena menyerah kepada Jepang dan pada sekitar Agustus 1942 Jepang mulai masuk di Indonesia dan menguasasi Pemerintahan. Pada masa pendudukan Jepang tersebut tidak banyak terdapat keterangan tentang penyelenggaraan pencatatan sipil, kecuali dalam daftar register akta catatan sipil pada masa itu (1942-1945) diketahui bahwa nama Bergerlijke Stand (BS) diganti menjadi âCacah Jiwaâ dan lembaganya disebut âKantor Pencacah Jiwaâ. Penggunaan Istilah âjiwaâ diambil dari bunyi Kitab Undang Undang Hukum Sipil, yaitu bahwa kata Catatan Sipil diartikan sebagai âpendaftaran jiwaâ. Adapun nomor dan penanggalan akta Kantor Pencacah Jiwa tersebut menggunakan tahun penanggalan Jepang.
Sebelum masa pendudukan Jepang, Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil terakhir orang Belanda yang menandatangani akta catatan sipil di jakarta pada sekitar tahun tahun 1941-1942 tercatat bernama : Vodgel Frederiks Stephanus dan ketika masa pendudukan jepang di Jakarta, antara tahun 1942-1945 tercatat nama-nama orang Indonesia, yakni : Hasan Soemadinata, Soekarna Wirasaputra dan Raden Siswadi.
Ketika Jepang akhirnya menyerah kembali kepada Sekutu, Indonesia (Hindia Belanda) diserahkan kembali kepada Sekutu/Inggris dan Belanda ikut didalamnya. Namun moment penyerahaan kembali itu dimanfaatkan oleh Rakyat Indonesia untuk memproklamirkan negara Kesatuan Republik Indonesia, Soekarno-Hatta atas nama Rakyat Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia keseluruh penjuru Dunia, maka sejak tanggal 17 Agustus 1945 itulah berdiri negara Indonesia yang berdaulat.
B. Periode Tahun 1945 Sampai Dengan 1966
Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, penyelenggaraan Pencatatan Sipil diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Lembaga Burgerlijke Stand (BS)/Kantor Pencacah Jiwa dilanjutkan kegiatannya dengan meneruskan apa-apa yang dahulu dikerjakan oleh lembaga ini, termasuk namanya masih menggunakan Bergerlijke stand (BS).
Selanjutnya karena Belanda terus berupaya untuk dapat merebut kembali Negera Republik Indonesia dan masih menganggap bahwa wilayah Indonesia masih berada dibawah kekuasaanya, berbagai peraturan tentang catatan sipil masih dikeluarkan antara lain Staatsblad tahun 1945 No. 14 tentang ketentuan pendaftaran perceraian yang dahulu ditetapkan 6 bulan setelah penetapan pengadilan negeri, karena masa perperangan hal tersebut sulit dilakukan maka berdasarkan staatsblad ini, keputusan perceraian yang dikeluarkan setelah tanggal 30 April 1941 masih dapat didaftarkan sampai pada batas waktu yang dikemudian hari akan ditetapkan oleh Gubernur Djenderal.
Pemerintah Belanda pada waktu itu menganggap bahwa situasi perang melawan jepang pada sekitar tahun 1941 sampai dengan tahun 1945 merupakan situasi yang tidak normal untuk terwujudnya penyelenggaraan catatan sipil. Oleh karena itu dibuatkan peraturan-peraturan tambahan/ordonantie untuk memberikan kemudahan. Staatsblad tahun 1947 no. 137 misalnya bahwa untuk kelahiran antara tanggal 10 Mei 1940 dan dikemudian hari akan ditetapkan Gubernur-Djenderal yang dahulu dan lantaran peristiwa-peristiwa tak/atau tak dapat didaftarkan menurut peraturan yang berlaku dalam suatu daftar catatan sipil, dapat didaftar setiap waktu, apabila ibu anak tersebut sesudah tanggal 10 mei 1940 mempunyai tempat kediaman yang sebenarnya di Indonesia, dalam daftar-daftar kelahiran yang dikerjakan oleh pegawai catatan sipil di Jakarta, atau disalah satu tempat lain yang akan ditunjuk Direktur Justisi.
Demikian juga tentang perkawinan-perkawinan yang terjadi antara masa perang dimaksud, terhitung setelah tangga 8 Desember 1941 dan sebelum waktu yang akan ditetapkan oleh Gubernur-Djenderal yang dahulu, melalui staatsblad 1947 no. 64 dianggap sah perkawinan-perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama atau kebaktian oleh atau dihadapan abdi agama atau kebaktian. Serta perkawinan yang dilaksanakan oleh atai dihadapan komandan atau orang yang menurut hukum atau sungguh-sungguh menjalankan suatu fungsi pangreh/pegawai kotapraja (openbare bestuursfunctie).
Peraturan-peraturan tersebut diatas penting sekali artinya sebagai penyimpangan dari ketentuan perkawinan sebelumnya yang harus diketahui oleh pegawai pada Kantor Catatan Sipil. Bergejolaknya revolusi fisik menentang Belanda menyebabkan masalah-masalah pencatatan sipil tersebut pada waktu itupun kurang mendapatkan perhatian, hal ini sesuai dengan kondisi perkembangan Pemerintah Kotapraja yang ada pada waktu itu (status Kotapraja berdasarkan Undang-undang Darurat RI Serikat No.20 tahun 1950) dan status Kotapraja berlangsung sampai dengan tanggal 14 Januari 1960.
Oleh Kantor Catatan Sipil Jakarta, satu daftar yang kemudian tetap dilaksanakan, adalah daftar tentang kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Staatsblad tahun 1946 no. 137 yakni dikenal dengan nama Daftar Kelahiran Luar Biasa (KLB). KLB ini diberikan kepada penduduk Jakarta yang lahir antara kurun waktu 10 Mei 1941 sampai dengan Desember 1949. Tentang batasan waktu Desember 1949 tersebut tidak terdapat kejelasan peraturannya, namun diperoleh keterangan dari pejabat Catatan Sipil sebagai batas akhir dari Revolusi Pisik menghadapi agresi belanda II. Sedangkan untuk Daftar perkawinan dan Perceraian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas, tidak terdapat daftar yang memberi petunjuk hal dimaksuid pernah dilaksanakan pada Kantor Catatan Sipil Jakarta sebagaimana halnya dengan Daftar untuk kelahiran. Daftar Kelahiran Luar biasa tersebut, tetap dibuka oleh Kantor Catatan Sipil Jakarta dan dari data ayng tersimpan diperoleh bahwa mereka yang mendaftar tercatat terakhir pada Tahun 1984.
Tidak jelas kapan BS itu secara resmi diganti menjadi Kantor Catatan Sipil, informasi yang diperoleh penulis dari Ibu Khatidjah Wasito (kepala Seksi Penyuluhan dan Evaluasi Kantor Catatan Sipil Pemerintah DKI Jakarta 1984-1989), menyebutkan BS diterjemahkan menjadi Catatan Sipil pada Kongres Bahasa ke 2 di Medan pada Tahun 1950. Istilah itu diambil atas dasar adanya istilah Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil dalam KUH Perdata.
Setelah Proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari setelahnya lahir Undang-undang Dasar 1945, secara resmi berdiri pemerintahan peralihan Ibukota Republik Indonesia Jakarta, dengan Soewirjo sebagai Walikota pertamanya. Pusat pemerintahan Kota jakarta bertempat dibalai Agung Kota, Jalan Gambir Selatan no. 9 (kini jalan Medan Merdeka Selatan).
Pada masa itu di Jakarta terdapat 2 Kantor Catatan Sipil, yaitu Kantor Catatan Sipil Batavia berlokasi di Jl. Perwira (sekarang Mesjid Istiqlal) dan satunya lagi Kantor Catatan Sipil Mister Cornelis (Jatinegara sekarang berlokasi didepan Stasiun Kereta Api Jatinegara).
Perkembangan selanjutnya sejalan dengan perkembangan Pemerintahan Kota Jakarta, Walikota Sjamsurizal memimpin Jakarta mulai 27 Juni 1951 sampai dengan 1 Nopember 1952, kemudian diteruskan oleh Sudiro (1953-1960).
Pada masa pemerintahan Walikota Soediro pada menjelang tahun 1957, kota Jakarta berubah status menjadi Daerah istimewa (Chusus) Tingkat I dan dipimpin oleh seorang Gubernur. Pada periode ini pulalah lembaga bergerlijke stand diganti namanya menjadi Kantor Catatan Sipil, sebagai salah satu hasil dari Kongres bahasa ke 2 di Medan.
Adapun Tentang Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil atau penandatangan akta catatan Sipil di Jakarta, sejak tahun 1829 sampai dengan 1942 dan 1945 sampai akhir revolusi pisik tahun 1949 penyerahan kedaulatan oleh sekutu (Belanda) kepada pemerintah Indonesia, BS masih dijabat oleh orang Belanda. Diantaranya adalah : de hoost Simon Petrus Marinas, Johannes Leonard Domingos dan seorang Indonesia bernama : Ahmad Badaruddin.
Tidak jelas apakah kedua orang disebut pertama itu adalah Orang Belanda berwarganegara Belanda atau telah menjadi Warganegara Indonesia. Tetapi nama mereka berdua tercatat menandatangasni akta catatan sipil di Jakarta sampai dengan Tahun 1953. Sedangkan sejak tahun 1954 sampai dengan 1960, penanda tangan akta catatan sipil di Jakarta tercatat atas nama : Geriik Michael Manuputty, Raden Mas Djoehro, Thio Soey Tjan. Nama-nama tersebut dapat mengungkapkan bahwa penyelenggaraan catatan sipil sesunguhnya masih dilaksanakan oleh pemerintah Kolonial belanda sampai tahun 1949-an, yakni sampai dengan berakhirnya revolusi pisik melawan penjajah di Indonesia.
Akan tetapi bahwa dua orang Belanda, yakni : de hoost Simon Petrus Marinas dan Johannes Leonard Domingos, masih melaksanakan tugasnya sebagai Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil di Jakarta sampai dengan tahun 1953, ini menunjukan fenomena yang menarik dari sisi penyerahan pemerintahan Kota Jakarta yang sepertinya tidak sama dengan sisi politis berakhirnya kekuasaan pemerintahan Belanda di Indonesia pada tahun 1949.
Perkembangan selanjutnya berkenaan dengan perluasan Kota Jakarta, terjadi pada masa Gubernur Dr. H. Sumarno Sastroatmodjo (1960-1964 dan 1965-1966) yang memangku dua kali masa jabatan. Pada masa inilah, tepatnya tanggal 21 Agustus 1964 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1964 Jakarta dinyatakan sebagai Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Adapun Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil yang tercatat antara kurun waktu tahun 1960 sampai dengan tahun 1980-an, adalah : Raden Pratiknyo, Abdurrachman, H. Suwarta dan Mientje Meike Bolang.
Berkenaan dengan perluasan Daerah Khusus Ibukota jakarta inilah, kemudian Kantor Catatan Sipil di Jakarta menjadi satu, yaitu Kantor Catatan Sipil DCI Jakarta Raya yang berlokasi di Jl. Pintu Besar Utara no. 12 Kota (dibelakang Gedung Museum Wayang sekarang). Sedangkan Kantor Catatan Sipil Mister Cornelis, dihapuskan dan sebagian dari Akta-akta Catatan Sipil yang ada diserahkan ke Kantor Catatan Sipil DCI Djakarta dan sebagian lainnya diserahkan keKantor Catatan Sipil Kabupaten Bekasi.
Kepala Kantor Catatan Sipil DCI Jakarta pertama yang dijabat oleh Orang Indonesia setelah Kemerdekaan adalah Bapak H. Pratiknyo.
Penyelenggaraan Catatan Sipil pada waktu itu masih belum mengalami perubahan dan pengembangan, sekalipun demikian oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil pada waktu itu batas mengenai penggolongan penduduk dan Warga Negara yang dapat dilayani oleh Kantor Catatan Sipil, telah diperlonggar khususnya bagi WNI asli dapat dilayani oleh Kantor Catatan Sipil hanya saja hal tersebut tidak didukung oleh ketentuan perundang- undangan, sehingga pelaksanaannya tidak tegas, hanya kalangan tertentu saja yang umumnya adalah Pegawai Kotapraja sendiri dan Keluarganya yang mengurus Akta Catatan Sipil. Sedangkan bagi warga masyarakat Eropa dan Keluarganya serta masyarakat keturunan Cina, pelayanan Catatan Sipil tetap diselenggarakan dan telah menjadi kebutuhan mereka yang penting.
Adapun tentang daftar-daftar akta catatan sipil yang disediakan dalam prakteknya berubah sesuai dengan kebutuhan nyata dari masing-masing golongan, sebagai berikut:
a. Untuk Golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Eropa, disediakan 5 macam daftar akta catatan sipil :
1) Daftar kelahiran;
2) Daftar Perkawinan
3) Daftar Izin Perkawinan
4) Perceraian
5) Daftar Kematian
b. Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing, disediakan 5 macam daftar akta catatan sipil :
1) Daftar-daftar kelahiran;
2) Daftar Perkawinan
3) Daftar Perceraian
4) Daftar Pengakuan dan Pengesahan Anak;
5) Daftar kematian
Pada perkembangannya, daftar-daftar Kelahiran dibagi kembali dalam 2 daftar, yaitu :
(1) Daftar Umum, yaitu daftar untuk memuat segala kelahiran yang diberitahukan kepada Pegawai Catatan Sipil, dengan tak ada suatu pengakuan anak;
(2) Daftar Istimewa , yaitu daftar untuk memuat segala akta yang pendaftarannya terlambat dan kemudian didaftar setelah mendapatkan Penetapan tentang ijin Pengadilan Negeri.
Sedangkan untuk daftar Kematian dibagi lagi dalam 2 (dua) ) daftar, yaitu:
(1) Daftar Umum, yaitu memuat segala kematian yang diberitahukan kepada pegawai catatan sipil;
(2) Daftar Istimewa , yaitu daftar untuk memuat segala akta yang pendaftarannya terlambat dan kemudian didaftar setelah mendapatkan Penetapan tentang ijin Pengadilan Negeri
c. Untuk Golongan Indonesia asli, disediakan 2 macam daftar akta catatan sipil :
(1) Daftar kelahiran;
(2) Daftar kematian;
Sedangkan pembatasan terhadap mereka yang dapat dilayani dalam daftar-daftar untuk golongan Indonesia asli inipun pembatasannya sudah agak kabur/tidak tegas lagi, seperti mengenai gelar kebangsawanan, Pegawai Negeri dan ABRI.
d. Untuk Golongan Indonesia Asli Nasrani, disediakan 4 macam daftar akta catatan sipil:
(1) Daftar Kelahiran;
(2) Daftar Perkawinan
(3) Daftar Perceraian
(4)Daftar Kematian;
Dengan demikian pada kenyataannya penyelenggaraan catatan sipil telah dilaksanakan perubahan, khususnya mengenai pembatasan mereka yang dapat dilayani oleh Kantor Catatan Sipil, hanya saja belum tertampung dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa Staatsblad-staatsblad itu sebenarnya sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan Negara Kesatuan Indonesia yang merdeka dan nanti akan kita lihat bahwa Daftar tersebut diperluas lagi oleh Kantor Catatan Sipil, khususnya daftar untuk pencatatan kelahiran selain Daftar Kelahiran Luar Biasa dikeluarkan 3 daftar Tambahan yaitu Daftar Tambahan untuk Proyek Daerah (Proda) dan Program Pemerintah Pusat yang disebut sebagai Program Dispensasi Akta kelahiran dan Daftar kelahiran Terlambat, untuk daftar kematian 1 daftar yakni dfatar Dispensasi kematian serta satu daftar untuk Perkawinan yakni Perkawinan khusus.
Terjadinya perubahan politik yang mendasar di Indonesia, sebagai akibat dari peristiwa pembrontakan G 30 S PKI pada tahun 1965 yang berhasil ditumbangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, maka Negara Indonesia memulai Pemerintahan Orde Baru dengan kepemimpinan Bapak Soeharto sebagai Presiden RI. Pemerintahan Orde Baru tersebut membuka era baru pula dalam penyelenggaraan Catatan Sipil di Indonesia,yaitu melalui Instruksi Presidium Kabinet Ampera No.31/In/U/12/66 penyelenggaraan Catatan Sipil dinyatakan terbuka untuk seluruh penduduk Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing.
Instruksi tersebut memberi landasan hukum sebagai jawaban kebutuhan pelayanan catatan sipil oleh masyarakat dan membawa pengaruh yang besar bagi arah kebijakan dan perkembangan pembangunan di bidang Catatan Sipil selanjutnya di Indonesia.